Punahnya Pajajaran: Sebuah Kisah Akhir Kerajaan Sunda

Sejarah – Libassonline.com || Pasca serangan besar kedua dari Banten ke wilayah Pakuan, peristiwa-peristiwa besar turut mengubah sejarah kerajaan Sunda. Para tokoh yang pernah menjadi saksi dan penandatangan perjanjian damai antara Pajajaran dan Cirebon satu per satu wafat, meninggalkan jejak sejarah yang monumental:

1. Sanghiyang Surawisesa, Raja Pajajaran, meninggal lebih dahulu pada tahun 1535 M.
2. Susuhunan Jati, berpulang pada 19 September 1568 M, sesuai dengan kalender Sunda pada 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka.
3. Fadillah Khan, penerus Susuhunan Jati, wafat pada 1570 M.
4. Panembahan Hasanudin, juga meninggal pada tahun yang sama, 1570 M.

Panembahan Hasanudin kemudian digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf, hasil pernikahannya dengan Putri Indrapura. Pernikahannya dengan Ratu Winaon dikaruniai seorang putra, Pangeran Muhammad, yang kelak meneruskan takhta. Panembahan Yusuf dikenal dengan gelar Pangeran Pasarean, makamnya terletak di luar Kota Banten.

Kejayaan di Masa Maulana Yusuf

Di bawah pemerintahan Maulana Yusuf, Banten mencapai masa keemasan sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat sekaligus pusat perdagangan dunia. Berbagai pembangunan monumental dilakukan, seperti saluran air, benteng dari bata merah dan karang, serta perluasan Masjid Agung yang dirintis Maulana Hasanudin. Masjid di Kasunyatan pun berdiri megah pada masa itu.

Namun, ambisi Maulana Yusuf tak hanya berhenti pada kemajuan Banten. Beliau bercita-cita menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa Barat, mempersiapkan serangan besar-besaran ke Pakuan Pajajaran dengan matang. Setelah sembilan tahun memimpin, ia mengerahkan pasukan, menggandeng Kerajaan Cirebon dalam serangan yang dikenal sebagai serangan besar terakhir ke Pakuan Pajajaran, seperti tertulis dalam Serat Banten:

“Nalika kesah punika
Ing sasih muharam singgih
Wimbaning sasih sapisan
Dinten ahad tahun alif
Puningka sangkalanya
Bumi rusak rikih iki.”
(Terjadi bulan Muharam, awal bulan, hari Ahad tahun Alif, yakni tahun Saka 1501 atau 1579 M).

Keruntuhan Pakuan Pajajaran

Ketika Prabu Nilakendra meninggalkan Pakuan, kota itu kehilangan fungsinya sebagai ibu kota. Sebagian besar penduduk mengungsi ke selatan, mendirikan pemukiman di Cisolok dan Bayah. Sebagian lain menuju timur, termasuk para pembesar kerajaan yang dipimpin Senopati Jayaprakosa.

Sebagian keluarga keraton memilih mengikuti Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra, ke lereng Gunung Pulasari di Pandeglang. Di sana, mereka mencoba mendirikan kembali Kerajaan Pajajaran, meskipun tanpa perangkat dan atribut kerajaan yang telah diselamatkan oleh Jayaprakosa. Pulasari dianggap bukan sekadar ibu kota, tetapi juga kabuyutan daerah suci yang menjadi tempat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Penghancuran Pakuan

Meski kehidupan di Pakuan mulai pulih, sebuah pengkhianatan dari “orang dalam” membuka jalan bagi kehancuran kota itu. Ia diam-diam membuka gerbang Lawang Gintung untuk pasukan Banten yang telah bersiap menyerang di malam hari. Serangan brutal ini menghancurkan keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati dan membakar Pakuan hingga rata dengan tanah.

Dalam catatan Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara tertulis:

Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala.”
(Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan 8 Mei 1579 M).

Akhir Tragis Sang Ragamulya

Tak hanya di Pakuan, pasukan Surosowan juga menyerang Sang Ragamulya dan pengikutnya di Pulasari. Dalam pertempuran ini, Ragamulya gugur. Kehancuran Pajajaran akhirnya menjadi kepastian yang tak terelakkan, sebuah “papasten” sebagaimana diungkapkan oleh Sang Hyang Lengser kepada Prabu Siliwangi:

“Dengekeun Gusti!
Saha anu bisa ngabendung gunturna waktu,
saha anu bisa nyahatkeun talaga lara,
saha anu bisa mungpang ka papasten.”
(Dengarkan Gusti! Siapa yang mampu membendung arus waktu, siapa yang bisa mengeringkan telaga kesusahan, siapa yang mampu melawan kepastian).

Sejarah Pajajaran mengajarkan bahwa sebesar apa pun upaya manusia, semuanya berjalan sesuai takdir Sang Maha Kuasa. Pajajaran kini tinggal nama, namun jejaknya abadi dalam kisah dan warisan budaya masyarakat Sunda.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *